Kadang-kadang
untuk tidak iri itu sulit rasanya. Ketika kebanyakan orang mendapatkan apa yang
mereka inginkan sementara aku hanya melihat dengan sedikit menyunggingkan bibir
tanda aku turut bersuka cita atas apa yang orang lain dapat. Kapan aku seperti
mereka? Kapan aku mendapatkan seseuatu yang aku inginkan? Aku selalu bergumam
dalam hatiku, padahal aku tidak seperti orang-orang yang kebanyakan menginginkan
harta benda. Hadiah ulang tahun misalnya, seperti yang aku lihat beberapa waktu
yang lalu temanku mendapat smartphone asal Amerika yang sedang digandrungi banyak kalangan saat ini, dari orang tuanya.
“Ciee
HP baru ni ye” Salah satu temanku meledeknya dengan tujuan agar dia dapat
traktiran. Aku pun tersenyum. “Iya nih” Sautnya singkat. “Traktiran donk!! Masa
Hp baru diem-diem aja?” Kami saling melirik kemudian si pemilik Hp baru
tersenyum sinis “Ya udah, Yuk !” Kami, bertiga menyantap nasi campur khas Bali
yang dijual dikantin belakang kampus. Kalau kasusnya seperti ini sih aku ga iri, karena memang aku bukan
tipe orang yang suka sirik dengan orang yang punya barang-barang bagus. Tidak seperti
salah satu teman kampusku, kalau ada orang yang memakai sneaker brand luar, New
Balance misalnya dia selalu penasaran “Ori ga sih sepatu itu? Berapa ya harga
sepatu itu? Kalau murah pasti ga Ori” Pertanyaan dan pernyataan semacam itu
yang sering aku dengar. Seakan dia tidak ingin ada teman lain dikelasnya yang melebihi
betapa keren dan kaya nya dia. Entahlah mungkin itu hanya perasaanku saja yang
sedikit ne-think pada nya.
Hari
ini mendung, aku rasa sebentar lagi akan turun hujan. Aku melirik jam tanganku,
“Udah jam 1, duh telat nih”. Aku bergumam sendiri. Bersamaan dengan gerimis
kecil, aku berlari menuju halte terdekat menunggu Trans-Bali tujuan
Denpasar-GWK. Setelah 10 menit lamanya aku menunggu bus, dan 45 menit
perjalanan beserta jalan kaki dari halte ke kos aku langsung bergegas mengambil
handuk kemudian mandi setelah ku rasa rapi, aku pergi ke salah satu Resto yang
ada didekat kos ku. Bukan untuk sekedar makan siang membuang-buang uang demi
makanan yang katanya enak. Tapi kemarin aku mengirim surat lamaran pekerjaan di
Restoran itu dan hari ini aku ada interview.
***
“Kalau
begitu, besok kamu mulai kerja ya, Ajeng! Di cabang Nusa Dua Jalan Bypass lampu
merah pertama, belok kanan. Nanti dikanan jalan lokasinya, pasti ketemu”. Manager
restoran keturunan chinese itu menjabat tangaku seraya tersenyum menerimaku
bekerja direstorannya mulai besok. “Baik, terimakasih, Bu !” Jawabku seraya membalas senyumnya. Aku pulang dengan hati yang senang, karena mulai besok aku
akan memulai pengalaman baruku.
Hari
pertamaku kerja sebagai pelayan restoran. Sebetulnya aku adalah orang yang
susah bergaul dengan orang lain. Aku tidak terlalu suka banyak bicara. Tapi saat
ini aku terpaksa mempresentasikan diriku, kegiatanku selama ini dan alasanku
bekerja ditempat itu kepada partner kerjaku. Begitu banyak pertanyaan yang
harus aku jawab, dan memang sulit rasanya untuk berbohong. Pertanyaan semacam “Kok
kamu mahasiswa, kerja direstoran sih? Gak ganggu kuliahnya nanti?”. “Nggak kok jalanin aja, cari pengalaman”.
Jawabku melayangkan senyuman. Selama aku berada didunia kerjaku, aku lebih
sering merasa iri. Aku iri pada tamu-tamu yang datang. Bukan karena mereka bisa
makan makanan mahal, tapi aku iri kepada mereka yang datang bersama dengan
keluarganya. Mereka terlihat bahagia lebih dari apapun. Bisa berkumpul bersama
sekedar makan makanan yang mungkin hanya dicicipinya. Baginya yang penting
berkumpul dengan keluarnya. Lain denganku, yang sejak kecil memang hidup jauh
dari bapak dan ibu. Semacam kurang kasih sayang, terlebih semenjak almarhum ibu
meninggalkan aku 11 tahun yang lalu. Aku terpukul, selama ini aku pikir dia
hanya akan meninggalkanku selama dia bekerja mencari uang untuk biaya sekolahku.
Aku pikir dia akan segera datang ke rumah eyang kakung dan eyang putri untuk
sekedar menemuiku. Aku pikir seperti itu. Tapi kenyataannya lain. Tuhan
mengambilnya terlebih dahulu. Aku menyesali kenapa selama ini aku mau tinggal
dengan eyang di desa, sementara bapak dan ibuku yang sudah mempunyai rumah di
Jakarta tidak membiarkan aku tinggal disana. Katanya hidupku akan lebih baik
tinggal dengan eyang sementara bapak dan ibu berjanji untuk sering-sering pulang membawakan banyak makanan dan mainan untukku. 4 tahun semenjak aku duduk dibangku sekolah dasar, aku dapat menghitung kepulangan orang tuaku yang hanya 7 kali. Dan kepulangan mereka yang yang ke 8 adalah benar-benar kehilangan yang aku rasakan. Kecelakaan yang merenggut nyawa ibuku 11 tahun silam. Yang kemudian belum genap 1 tahun sepeninggalan ibu, ayahku menikah lagi dengan janda beranak 1 dan merekalah yang lanjut membiayaiku hingga saat ini aku duduk dibangku kuliah. Sejak kecil memang aku tidak terlalu akrab dengan keluargaku. Sekalipun liburan semester aku pulang kekediaman ayahku di Jakarta, orang tuaku tetap sibuk dengan pekerjaannya. Terkadang ketika ada sedikit waktu luang aku berbincang-bincang dengan ayahku, tidak lupa dia meminta maaf karena memang selama ini ia sadar kalau aku kurang perhatian darinya. Yang jelas uang jajan selalu masuk ke rekening bank ku dan
mungkin ayah sudah lega jika sudah seperti itu. Aku selalu menangisi keadaan
seperti itu hingga aku tak sadar seorang customer memangglku. Chandra, salah
satu partner kerjaku akhirnya yang memenuhi panggilan customer itu dan aku
tersadar dari lamunanku.
“Maaf,
Chand ! Aku ga konsen tadi”. Sambil menggaruk-garuk kepalaku yang sebetulnya
tidak gatal sama sekali. Aku meminta maaf pada Chandra yang memang posisinya
adalah sebagai kapten direstoran itu. Dia seumuran dengaku, bedanya setelah
lulus SMA dia langsung kerja.
“Iya,
santai. Fokus ya Ajeng. Semangat”. Sautnya tersenyum.
Aku
melanjutkan pekerjaan yang harus aku kerjakan. Memang masih banyak yang harus
aku pelajari dari semua pekerjaan disana. Karena memang ini adalah pengalaman
pertamaku bekerja direstoran sebagai pelayan. Aku bekerja memang untuk mengisi
waktu luangku yang selama ini terbuang sia-sia karena setelah pulang kuliah aku
tidak punya kesibukan lain. Aku bukan mahasiswa yang aktiv didunia BEM yang
terlalu punya banyak kesibukan rapat ini itu. Bagiku pengalaman Osis di SMA sudah
lebih dari cukup untuk sekedar belajar berorganisasi. Selebihnya adalah
bagaimana cara kita bergaul dengan dunia luar dan mengenal lebih banyak orang. Bukan
sekedar teman dikampus.
Didunia
kerjaku ini jugalah yang mengenalkan aku pada orang-orang baru yang luar biasa.
***
Baru
kemarin rasanya aku bekerja, aku menyatakan mengundurkan diri dari restoran itu
karena aku akan pulang ke rumahku di Jakarta. Karena liburan semester 4 ini
adalah libur panjang. Hampir 2 bulan. Dan aku ingin selalu menghabiskan waktu
liburanku dengan keluargaku terutama dengan ayahku. Meskipun dia sibuk setiap
hari tapi setidak nya aku bisa bertemu dengannya setiap hari.
Entah
kenapa kepulanganku kali ini ada yang lain. Seperti tak ingin pulang. Seperti ingin
tetap tinggal. Tapi aku harus tetap pulang. Bagaimanapun bertemu ayahku adalah
jauh lebih penting.
***
Singkat ceita, liburanku selama dua bulan di Jakarta telah usai. dan aku kembali ke Bali. Aku harus melanjutkan kuliahku. Menata masa depanku. “Aku akan kembali lagi dalam waktu 5 bulan, Ayah” Ujarku dalam peluknya. “Iya, Nak. Ayah tunggu kamu dirumah. Baik-baik ya kamu disana.!” Aku tersenyum menyalaminya, Dia mencium keningku dan aku melangkahkan kakiku masuk bandara.
Singkat ceita, liburanku selama dua bulan di Jakarta telah usai. dan aku kembali ke Bali. Aku harus melanjutkan kuliahku. Menata masa depanku. “Aku akan kembali lagi dalam waktu 5 bulan, Ayah” Ujarku dalam peluknya. “Iya, Nak. Ayah tunggu kamu dirumah. Baik-baik ya kamu disana.!” Aku tersenyum menyalaminya, Dia mencium keningku dan aku melangkahkan kakiku masuk bandara.
***
“Hai.!”
Laki-laki tampan itu sudah menungguku dipintu kedatangan Ngurah Rai Airport. Seraya
tersenyum. “Ih Jerawatnyaaa” Dia meledekku.
“Iya nih, nongol semua jerawatku ini. Kamu apa kabar?” senyumku mengembang seketika
melihat senyumnya. Sungguh, sepertinya aku jatuh cinta dibuatnya.
“Aku
baik kok, genduttt” Begitu jawabnya. Aku tersenyum dan melanjutkan perjalanan
kami yang panjang menuju parkiran.
“Cepet
banget udah sampai kos aja. Kamu istirahat ya. Kamu kan capek. Katanya.
“Ya deh, makasih ya!"
Dia hanya tersenyum.
Dia hanya tersenyum.
***
Sebentar
lagi tahun baru, aku ingin menikamati detik-detiknya bersama orang yang sudah lama aku suka. Tapi rupanya harapan hanya akan menjadi sekedar harapan. Aku
merasa iri setiap melihat pasangan yang begitu manisnya memamerkan
kemesraannya. Aku lebih sering iri melihat orang-orang yang merasa bahagia
dibuat oleh pasangannya. Aku iri melihat gadis-gadis lain yang diperhatikan
oleh pacarnya. Bukan seperti aku yang bahkan hanya bisa menyimpan perasaan pada orang yang bahkan mungkin tak memiliki perasaan apapun padaku. Aku iri. Aku hanya ingin dicintai. Dicintai orang yang aku cintai.