Jumat, 12 Februari 2016

Aku Iri

Kadang-kadang untuk tidak iri itu sulit rasanya. Ketika kebanyakan orang mendapatkan apa yang mereka inginkan sementara aku hanya melihat dengan sedikit menyunggingkan bibir tanda aku turut bersuka cita atas apa yang orang lain dapat. Kapan aku seperti mereka? Kapan aku mendapatkan seseuatu yang aku inginkan? Aku selalu bergumam dalam hatiku, padahal aku tidak seperti orang-orang yang kebanyakan menginginkan harta benda. Hadiah ulang tahun misalnya, seperti yang aku lihat beberapa waktu yang lalu temanku mendapat smartphone asal Amerika yang sedang digandrungi banyak kalangan saat ini, dari orang tuanya.

“Ciee HP baru ni ye” Salah satu temanku meledeknya dengan tujuan agar dia dapat traktiran. Aku pun tersenyum. “Iya nih” Sautnya singkat. “Traktiran donk!! Masa Hp baru diem-diem aja?” Kami saling melirik kemudian si pemilik Hp baru tersenyum sinis “Ya udah, Yuk !” Kami, bertiga menyantap nasi campur khas Bali yang dijual dikantin belakang kampus. Kalau kasusnya seperti ini sih aku ga iri, karena memang aku bukan tipe orang yang suka sirik dengan orang yang punya barang-barang bagus. Tidak seperti salah satu teman kampusku, kalau ada orang yang memakai sneaker brand luar, New Balance misalnya dia selalu penasaran “Ori ga sih sepatu itu? Berapa ya harga sepatu itu? Kalau murah pasti ga Ori” Pertanyaan dan pernyataan semacam itu yang sering aku dengar. Seakan dia tidak ingin ada teman lain dikelasnya yang melebihi betapa keren dan kaya nya dia. Entahlah mungkin itu hanya perasaanku saja yang sedikit ne-think pada nya.

Hari ini mendung, aku rasa sebentar lagi akan turun hujan. Aku melirik jam tanganku, “Udah jam 1, duh telat nih”. Aku bergumam sendiri. Bersamaan dengan gerimis kecil, aku berlari menuju halte terdekat menunggu Trans-Bali tujuan Denpasar-GWK. Setelah 10 menit lamanya aku menunggu bus, dan 45 menit perjalanan beserta jalan kaki dari halte ke kos aku langsung bergegas mengambil handuk kemudian mandi setelah ku rasa rapi, aku pergi ke salah satu Resto yang ada didekat kos ku. Bukan untuk sekedar makan siang membuang-buang uang demi makanan yang katanya enak. Tapi kemarin aku mengirim surat lamaran pekerjaan di Restoran itu dan hari ini aku ada interview.
***
“Kalau begitu, besok kamu mulai kerja ya, Ajeng! Di cabang Nusa Dua Jalan Bypass lampu merah pertama, belok kanan. Nanti dikanan jalan lokasinya, pasti ketemu”. Manager restoran keturunan chinese itu menjabat tangaku seraya tersenyum menerimaku bekerja direstorannya mulai besok. “Baik, terimakasih, Bu !” Jawabku seraya membalas senyumnya. Aku pulang dengan hati yang senang, karena mulai besok aku akan memulai pengalaman baruku.

Hari pertamaku kerja sebagai pelayan restoran. Sebetulnya aku adalah orang yang susah bergaul dengan orang lain. Aku tidak terlalu suka banyak bicara. Tapi saat ini aku terpaksa mempresentasikan diriku, kegiatanku selama ini dan alasanku bekerja ditempat itu kepada partner kerjaku. Begitu banyak pertanyaan yang harus aku jawab, dan memang sulit rasanya untuk berbohong. Pertanyaan semacam “Kok kamu mahasiswa, kerja direstoran sih? Gak ganggu kuliahnya nanti?”. “Nggak kok jalanin aja, cari pengalaman”. Jawabku melayangkan senyuman. Selama aku berada didunia kerjaku, aku lebih sering merasa iri. Aku iri pada tamu-tamu yang datang. Bukan karena mereka bisa makan makanan mahal, tapi aku iri kepada mereka yang datang bersama dengan keluarganya. Mereka terlihat bahagia lebih dari apapun. Bisa berkumpul bersama sekedar makan makanan yang mungkin hanya dicicipinya. Baginya yang penting berkumpul dengan keluarnya. Lain denganku, yang sejak kecil memang hidup jauh dari bapak dan ibu. Semacam kurang kasih sayang, terlebih semenjak almarhum ibu meninggalkan aku 11 tahun yang lalu. Aku terpukul, selama ini aku pikir dia hanya akan meninggalkanku selama dia bekerja mencari uang untuk biaya sekolahku. Aku pikir dia akan segera datang ke rumah eyang kakung dan eyang putri untuk sekedar menemuiku. Aku pikir seperti itu. Tapi kenyataannya lain. Tuhan mengambilnya terlebih dahulu. Aku menyesali kenapa selama ini aku mau tinggal dengan eyang di desa, sementara bapak dan ibuku yang sudah mempunyai rumah di Jakarta tidak membiarkan aku tinggal disana. Katanya hidupku akan lebih baik tinggal dengan eyang sementara bapak dan ibu berjanji untuk sering-sering pulang membawakan banyak makanan dan mainan untukku. 4 tahun semenjak aku duduk dibangku sekolah dasar, aku dapat menghitung kepulangan orang tuaku yang hanya 7 kali. Dan kepulangan mereka yang yang ke 8 adalah benar-benar kehilangan yang aku rasakan. Kecelakaan yang merenggut nyawa ibuku 11 tahun silam. Yang kemudian belum genap 1 tahun sepeninggalan ibu, ayahku menikah lagi dengan janda beranak 1 dan merekalah yang lanjut membiayaiku hingga saat ini aku duduk dibangku kuliah. Sejak kecil memang aku tidak terlalu akrab dengan keluargaku. Sekalipun liburan semester aku pulang kekediaman ayahku di Jakarta, orang tuaku tetap sibuk dengan pekerjaannya. Terkadang ketika ada sedikit waktu luang aku berbincang-bincang  dengan ayahku, tidak lupa dia meminta maaf karena memang selama ini ia sadar kalau aku kurang perhatian darinya. Yang jelas uang jajan selalu masuk ke rekening bank ku dan mungkin ayah sudah lega jika sudah seperti itu. Aku selalu menangisi keadaan seperti itu hingga aku tak sadar seorang customer memangglku. Chandra, salah satu partner kerjaku akhirnya yang memenuhi panggilan customer itu dan aku tersadar dari lamunanku.

“Maaf, Chand ! Aku ga konsen tadi”. Sambil menggaruk-garuk kepalaku yang sebetulnya tidak gatal sama sekali. Aku meminta maaf pada Chandra yang memang posisinya adalah sebagai kapten direstoran itu. Dia seumuran dengaku, bedanya setelah lulus SMA dia langsung kerja.
“Iya, santai. Fokus ya Ajeng. Semangat”. Sautnya tersenyum.

Aku melanjutkan pekerjaan yang harus aku kerjakan. Memang masih banyak yang harus aku pelajari dari semua pekerjaan disana. Karena memang ini adalah pengalaman pertamaku bekerja direstoran sebagai pelayan. Aku bekerja memang untuk mengisi waktu luangku yang selama ini terbuang sia-sia karena setelah pulang kuliah aku tidak punya kesibukan lain. Aku bukan mahasiswa yang aktiv didunia BEM yang terlalu punya banyak kesibukan rapat ini itu. Bagiku pengalaman Osis di SMA sudah lebih dari cukup untuk sekedar belajar berorganisasi. Selebihnya adalah bagaimana cara kita bergaul dengan dunia luar dan mengenal lebih banyak orang. Bukan sekedar teman dikampus.
Didunia kerjaku ini jugalah yang mengenalkan aku pada orang-orang baru yang luar biasa. 

***
Baru kemarin rasanya aku bekerja, aku menyatakan mengundurkan diri dari restoran itu karena aku akan pulang ke rumahku di Jakarta. Karena liburan semester 4 ini adalah libur panjang. Hampir 2 bulan. Dan aku ingin selalu menghabiskan waktu liburanku dengan keluargaku terutama dengan ayahku. Meskipun dia sibuk setiap hari tapi setidak nya aku bisa bertemu dengannya setiap hari.

Entah kenapa kepulanganku kali ini ada yang lain. Seperti tak ingin pulang. Seperti ingin tetap tinggal. Tapi aku harus tetap pulang. Bagaimanapun bertemu ayahku adalah jauh lebih penting.

***
Singkat ceita, liburanku selama dua bulan di Jakarta telah usai. dan aku kembali ke Bali. Aku harus melanjutkan kuliahku. Menata masa depanku. “Aku akan kembali lagi dalam waktu 5 bulan, Ayah” Ujarku dalam peluknya. “Iya, Nak. Ayah tunggu kamu dirumah. Baik-baik ya kamu disana.!” Aku tersenyum menyalaminya, Dia mencium keningku dan aku melangkahkan kakiku masuk bandara.
***
“Hai.!” Laki-laki tampan itu sudah menungguku dipintu kedatangan Ngurah Rai Airport. Seraya tersenyum. “Ih Jerawatnyaaa” Dia meledekku.
“Iya nih, nongol semua jerawatku ini. Kamu apa kabar?” senyumku mengembang seketika melihat senyumnya. Sungguh, sepertinya aku jatuh cinta dibuatnya.
“Aku baik kok, genduttt” Begitu jawabnya. Aku tersenyum dan melanjutkan perjalanan kami yang panjang menuju parkiran. 

“Cepet banget udah sampai kos aja. Kamu istirahat ya. Kamu kan capek. Katanya.

“Ya deh, makasih ya!"

Dia hanya tersenyum.

***
Sebentar lagi tahun baru, aku ingin menikamati detik-detiknya bersama orang yang sudah lama aku suka. Tapi rupanya harapan hanya akan menjadi sekedar harapan. Aku merasa iri setiap melihat pasangan yang begitu manisnya memamerkan kemesraannya. Aku lebih sering iri melihat orang-orang yang merasa bahagia dibuat oleh pasangannya. Aku iri melihat gadis-gadis lain yang diperhatikan oleh pacarnya. Bukan seperti aku yang bahkan hanya bisa menyimpan perasaan pada orang yang bahkan mungkin tak memiliki perasaan apapun padaku. Aku iri. Aku hanya ingin dicintai. Dicintai orang yang aku cintai. 

Kamis, 11 Februari 2016

Dariku, Kepada-Nya, Untukmu

Terimakasih untuk 261 hari belakangan ini. Kamu adalah apa yang selalu aku tulis dalam buku harianku. Kamu adalah apa yang selalu aku ceritakan pada Tuhan. Kamu adalah apa yang selalu aku banggakan didepan teman-temanku. Semua detil tentangmu terekam jelas diingatanku, sehingga aku bisa dengan leluasa menulis bahkan menceritakan segala tentangmu.

Terimakasih karena kamu pernah membuat hati ini merasa tenang.. Maaf aku mengatakan pernah karena mungkin sekarang tak lagi.. Karena mungkin sekarang tidak akan pernah sama lagi seperti dulu. Aku rindu beberapa detik pelukmu. Aku rindu caramu menjelaskan tentang ilmu sejarah padaku. Aku rindu caramu memintaku untuk masuk agamamu. Aku rindu suaramu yang memanggil namaku saat kamu datang ke kediamanku. Aku rindu beberapa waktu yang lalu saat kita masih baik-baik saja.

Dari sekian banyak yang aku rindu darimu, ada lebih banyak  yang aku benci dari kita. Aku benci ketika aku tidak bisa memberimu sesuatu dihari ulang tahunmu. Aku benci ketika kamu tidak sekalipun menemuiku saat hari ulang tahunku. Dan aku benci saat kita tidak bisa merayakan malam pergantian tahun baru berdua. Aku benci ketika kamu marah hingga membuatku lebih geram. Aku benci ketika kamu ingkar janji untuk menjemputku dibandara. Aku benci ketika baru beberapa waktu yang lalu kita putus, kamu cepat-cepat cari pengganti semudah angin berhembus. Tidakkah kamu mendua sebelum aku pulang dari Jakarta? Kenapa hatiku rasanya seremuk ini? Sakit…

Sampai saat ini, aku masih sendiri. Aku memutuskan untuk menyendiri karena aku tahu, sekalipun aku cari pengganti, ia hanya akan menjadi pelarian hati. Aku tidak ingin menyakiti siapa-siapa, terlebih hatiku sendiri. Aku cukup mencintaimu dalam hati, kemudian hatiku ku serahkan pada Tuhan. Biar Dia yang menjaganya. Menjaga perasaanku. Menjaga bahagiamu..

Sleeping is so hard when i can't stop thinking about you